Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Kebersamaan rijal mumazziq z bersama Mbah Mus


Kebersamaan rijal mumazziq z bersama Mbah Mus

Mbah Mus
@ rijal mumazziq z
Pada 18 Maret 2017, bersama Kaktoan Ach Tirmidzi Munahwan, saya jualan buku di pintu gerbang masuk Pondok Pesantren al-Anwar, Sarang, Rembang. Saat itu ada acara pertemuan alim ulama. Acara rame jadi saya ngelapak. Waktu itu, saya juga diajak Kiai Labib Asrori dan Gus Cholil Mustamid Asrori ke ndalemnya Gus Abdullah Muava Aly.

Setelah bakulan selesai, kami menuju Leteh, Rembang. Di jalan, saya dicegat maskaji Hamam Muhlishun. Juragan kopi ini mentraktir kami gurami bakar dan degan bakar. Enak banget. Khakhakhaaaa suwun maskaji. Setelah kenyang, barulah kami menuju Leteh.

Di sana ada acara kopdar. Ketemuan dengan Kiai Yahya Cholil Staquf, Mbah Triwibowo Budi Santoso, Gus Rizal Wijaya, Mbahbeb Arif Jauhari, Mbak Kalis Mardiasih, Maskaji Mas Achmad Muchammad, Mas Imam Badrus Samsi, Mas Munawir Aziz dan sebagainya. Ketemu, ngobrol dan makan sambel terong bersama di atas talam. Sudah enak, guyub pula.

Menjelang shalat Isya', saya duduk di aula mushala di samping ndalem. Tak disangka, KH. A. Mustofa Bisri datang mau ngimami shalat. Alih-alih langsung menyalami beliau, saat itu ada  perasaan aneh menjalari hati saya. Terpesona, lebih tepatnya. Sosok Mbah Mus berjalan anggun. Wajahnya, seperti biasa memancarkan keteduhan. Adem. Beliau berkemeja putih, bersarung putih, dan berpeci putih. Rambut dan alis beliau juga memutih. Serba putih. Elegan dan mempesona. Wangi, pula.

Teman-teman yang lain mengerubungi beliau, mencium tangannya dengan takzim. Saya masih terpaku. Tidak ikut merubung, hanya mengamati dari luar kerumunan. Beberapa detik saya menikmati perasaan ini. Maknyes di hati. Seneng. Bahagia karena untuk kedua kalinya saya bisa menatap beliau secara langsung, setelah pisowanan pertama kali pada 2014 bersama sahabat Ahsanul Fuad.

Dalam sowan kali itu pula, saya minta izin membalagh Tafsir al-Ibriz dalam pengajian rutin di desa. Tafsir ini karya ayahanda beliau, KH. Bisri Mustofa. Beliau memberi izin setelah saya cerita jika saya sewaktu MTs mengaji Tafsir al-Ibriz dan Al-Iklil (karya adik Kiai Bisri, yaitu KH. Misbah Zainal Mustofa), secara sorogan kepada pakde saya, (alm.) KH. Achmad Zaini Syafawi, pengasuh PP. Mabdaul Ma'arif, Jombang-Jember. Saya meminta izin, semata-mata untuk mencari keridhoan dzuriyah Kiai Bisri Mustofa, juga menyambung sanad keilmuan agar semakin berbarakah.
***
Soal sastra dan kajian kepuisian karya Mbah Mus, sudah banyak yang membahas, dari artikel jurnal, skripsi, mungkin pula tesis. Sudah banyak. Juga kupasan dalam buku. Puisi-puisi Mbah Mus memang asyik, menggelitik dan menyentil. Karena itu dijuluki "Puisi Balsem". Hangat, mungkin pula panas menyengat, tapi menyembuhkan. Puisinya sederhana tapi bermakna, sebagaimana karya Kiai D. 

Zawawi Imron. Puisi beliau berdua, bagi saya, enak dinikmati dan tidak njlimet. Juga tidak berpretensi mengolah-alih kata hingga merumit-rumitkan kalimat. Tahu sendiri kan, di Indonesia, biasanya semakin sulit dipahami sebuah puisi, semakin dianggap bermutu. Semakin bikin pening dan multitafsir, semakin dinilai keren. Inilah salah kaprah itu. Sehingga banyak puisi berjarak dengan kenyataan. Mengawang-awang.

Satu hal lagi yang menjadi teladan bagi saya pribadi. Mbah Mus dan (almarhumah) Bunyai Fatma dalam banyak kesempatan selalu foto berdua. Posenya sederhana tapi magnetik. Memancarkan cinta. Tidak memperlihatkan kemesraan secara ekstravagan dan "norak", tapi menebarkan aura kedamaian. Memberi pesan kepada siapapun yang melihat, bahwa keduanya saling mendukung satu sama lain. Menyiratkan pesan, kami pasangan yang lama menikah dan terus belajar mencintai satu sama lain.
Karena itu, jika ada sebagian orang yang malu mengajak istrinya berfoto juga enggan menampilkan foto berdua di media sosial, dengan dalih budaya maupun agama, Mbah Mus lain. Saya melihatnya dalam wujud seorang suami yang bangga dengan keberadaan istri di sampingnya. Di berbagai foto beliau berdua, saya melihat kasih sayang Mbah Mus yang memperlihatkan sosok pendamping hidupnya, sigaring nyawanya (separuh jiwanya), dan ibu yang melahirkan buah hatinya. Sebuah gambar yang memberi pesan, bahwa ada peranan istri dalam pribadi suami. Dan, hanya suami yang keren yang bisa mendudukkan istri setara di sampingnya. 

Dari Mbah Mus, kita belajar bahwa pernikahan adalah proses saling melengkapi dan saling menyempurnakan. Dawuh Mbah Mus dalam salah satu cuitannya di Twitter, 24 November 2013, menandaskan hal itu. "Pria mendambakan istri yang sempurna. Perempuan memimpikan suami yang sempurna. Keduanya tidak tahu bahwa mereka diciptakan untuk saling menyempurnakan."
Wallahu A'lam Bisshawab




Post a Comment for "Kebersamaan rijal mumazziq z bersama Mbah Mus"