Cerpen-cerpen karya KH. A. Mustofa Bisri (Gus Mus) selalu sederhana
namun dalam. Enak dibaca tanpa perlu boros kata-kata atau berlagak
filosofis dan mendayu. Selain cerpen "Gus Jakfar" dan "nDara Mat Amit"
yang 'misterius', "Mbok Yem" adalah salah satu cerpen terbaik dari
antologi cerpen (terbaik) beliau di antologi "Lukisan Kaligrafi".
"Mbok Yem"
Oleh: A. Mustofa Bisri
Alhamdulillah, sebelum wukuf di Arafah aku bisa menemukan ibu dan
adikku di pondokan mereka di Mekkah. Mereka tinggal di kamar yang sempit
bersama 4 pasang suami-istri. Masing-masing menempati kapling semuat
dua orang yang hanya diberi sekat kopor-kopor. Di tengah-tengah ada
sedikit ruang kosong yang dipenuhi bermacam-macam makanan dan peralatan
makan. Ibu memperkenalkan saya kepada kawan-kawan kelompoknya.
Ini anak saya yang belajar di Mesir;” katanya bangga. “Sudah empat tahun tidak pulang.”
Malu-malu saya menyalami mereka satu per satu. Di antara mereka itu ada
dua sejoli yang sudah sangat tua. Lebih tua dari ibu. Yang laki-laki
dan dipanggil Mbah Joyo lebih tua lagi. Beberapa tahun lebih tua dari
Mbok Yem, istrinya. Berbeda dengan Mbah Joyo yang agak pendiam, Mbok Yem
orangnya ramah dan banyak bicara, mendekati ceriwis.
Yang
kemudian menarik perhatian, sekaligus membuatku agak geli, adalah
kemesraan kedua sejoli itu. Mereka laiknya pengantin baru saja. Seperti
tidak menghiraukan senyum-senyum dan lirikan-lirikan menggoda
kawan-kawannya yang memperhatikan mereka, Mbok Yem menggelendot manja di
pundak Mbah Joyo.
“Pak, kita beruntung ya,” katanya sambil
mengelus rambut suaminya yang putih bagai kapas. “Nak Mus ini belajar
agama di Mesir, dia bisa menjadi muthawwif kita dan membimbing manasik
kita.” Lalu ditujukan kepadaku, “Bukan begitu, Nak Mus?”
Aku mengangguk saja sambil tersenyum.
“Kalau perlu Nak Mus pasti tidak keberatan mengantar kita ke
mana-mana,” katanya lagi. “Nanti Mbok Yem bikinkan sayur asem kesukaan
Mbah Joyo. Mbok Yem paling ahli bikin sayur asem. Tanyakan Mbah Joyo
ini, lidahnya sampai njoget jika Mbok Yem masak sayur asem.”
“Tapi dia juga baru sekarang ini ke Mekkah,” tukas ibuku. “Jadi di sini pengalamannya tidak lebih banyak dari kita-kita ini.”
“Ya, tapi Nak Mus kan pasti pandai bahasa Arab; jadi tak akan kesasar
dan bisa menolong kita jika belanja. Kita tak perlu lagi menawar-nawar
pakai bahasa isyarat, kaya orang bisu.”
Orang-orang pada ketawa.
“Tapi, Nak Mus ini kan tidak tinggal di sini bersama kita,” kata salah
seorang jamaah sambil menyodorkan segelas teh. “Terima kasih!” aku
menyambut teh panas yang disodorkan.
“Ya, Nak Mus tinggalnya di mana?” tanya yang lain.
“Saya tinggal bersama kawan-kawan mahasiswa yang lain,” kataku, “tapi tidak jauh dari sini kok. Saya bisa sering kemari.”
“Nah, Pak, nanti kita bisa jalan-jalan ke mana saja tanpa khawatir,”
kata Mbok Yem lagi sambil memijit-mijit lengan Mbah Joyo. “Kita punya
pengawal yang masih muda dan bisa berbahasa Arab.”
“Kamu ini
bagaimana,” Mbah Joyo yang dari tadi hanya diam dan senyum-senyum
tiba-tiba angkat bicara. “Nak Mus ke sini ini kan bukan untuk kamu saja.
Tapi terutama untuk ibu dan adiknya yang sudah lama tidak bertemu.
Mereka pasti ingin berkangen-kangenan.”
“Ya, saya tahu,” sahut
Mbok Yem sambil mleroki suaminya. “Saya juga tidak bermaksud menguasai
Nak Mus sendiri. Maksud saya kita bisa nginthil, ikut bersama-sama ibu
dan mbak bila mereka ke masjid atau ke mana saja.”
“Enak saja!”
“Sudah, sudah,” kata ibuku memotong. “Sudah jam setengah sebelas. Ayo kita siap-siap ke masjid!” ***
Alhamdulillah, sejak di Arafah saya bisa bergabung bersama rombongan
ibu. Malam menjelang wukuf, kami sudah sampai ke padang luas yang
menjadi seperti lautan tenda itu. Beberapa orang tampak letih. Justru
Mbok Yem dan Mbah Joyo –anggota rombongan yang paling tua– sedikit pun
tidak memperlihatkan tanda-tanda kelelahan. Bahkan pancaran semangat dua
sejoli ini tampak jelas seperti mempermuda usia mereka. Ketika paginya,
saya ajak mereka keluar kemah untuk melihat suasana Arafah yang begitu
luar biasa. Meski mentari belum begitu mengganggu dengan sengatan
panasnya, dia telah memberikan cahayanya yang benderang pada hamparan
putih Arafah. Sejauh mata memandang, putih-putih tenda dan putih-putih
kain ihram mendominasi pemandangan. Di sana-sini bercuatan
bendera-bendera negara atau sekadar tanda rombongan jamaah tertentu.
Dari kejauhan tampak “bukit manusia” dengan puncak sebuah tugu yang juga
berwarna putih. “Apakah itu Jabal Rahmah?”
“Ya, itulah Jabal Rahmah.”
“Apa betul itu tempat pertemuan pertama Bapa Adam dengan Ibu Hawa setelah mereka turun dari sorga?”
“Wallahu a’lam ya, tapi memang banyak yang percaya.”
“Apa kita akan ke sana?”
“Ah, tak perlu. Lagi pula itu jauh. Kelihatannya saja dekat. Wukuf yang
penting di Arafah, beristighfar dan berdoa. Di sini saya kira kita bisa
lebih khusyuk.”
Ketika kembali ke kemah, tampaknya kawan-kawan
jamaah masih membawa kesan mereka dari melihat panorama yang belum
pernah mereka saksikan itu.
“Orang kok sekian banyaknya itu dari mana saja ya?”
“Ya, ada yang hitam sekali, putih sekali, yang coklat, malah ada yang seperti tomat kemerah-merahan.”
“Sekian banyak orang kok pakaiannya putih-putih semua, masya Allah!”
Semua yang berbicara itu mengarahkan pandangannya kepadaku, seolah-olah
komentarku memang mereka tunggu. Atau ini hanya perasaanku saja. Tapi
aku bicara juga. “Kata guru saya, inilah gambaran mini nanti saat kita
di padang Makhsyar, ketika semua orang dibangunkan dari alam kubur. Tak
ada kaya tak ada miskin; tak ada orang besar tak ada orang kecil; tak
ada bangsawan tak ada jelata; semuanya sama. Semuanya digiring di padang
terbuka seperti di Arafah ini. Bedanya, di sini masih ada tenda dan
naungan-naungan lain; di sana kelak, tidak. Masing-masing orang akan
dimintai pertanggungjawaban atas amal perbuatannya selama hidup di
dunia.”
Aku berhenti, karena kudengar ada isak tangis yang
semakin lama semakin mengeras. Ternyata tangis Mbok Yem di pangkuan Mbah
Joyo yang juga terlihat berkaca-kaca kedua matanya. Seisi kemah pun
terdiam. Sampai datang seorang petugas kloter menyuruh semuanya
bersiap-siap untuk acara salat bersama –Dhuhur dan Asar– dan melanjutkan
ritual wukuf dengan berdzikir dan berdoa.
Aku perhatikan,
sejak selesai acara salat dan berdoa bersama, hingga akhirnya
masing-masing berdzikir dan berdoa sendiri-sendiri, Mbok Yem dan Mbah
Joyo terus menangis dan hanya mengulang-ulang astaghfirullah,
astaghfirullah… Memohon ampun kepada Allah. Tak terdengar kedua sejoli
tua ini berdzikir atau berdoa yang lain. *** Malam ketika arus air bah
kendaraan dan manusia mengalir dari Arafah ke Muzdalifah dan Mina, di
atas bus kami sendiri, hanya terdengar talbiyah dan takbir. Kecuali
sepasang mulut yang masih terus beristighfar. Mulut Mbok Yem dan Mbah
Joyo.
Menjelang dini hari kami sampai wilayah Muzdalifah. Dari
kejauhan, kerlap-kerlip lampu tampak semakin memperindah panorama
Masy’aril Haram. Bus kami berhenti dan rombongan berhamburan turun dalam
gelap, mencari batu-batu kerikil untuk melempar Jamrah. Ibu aku minta
tetap di bus, aku dan adikku saja yang turun. Yang lain ternyata turun
semua. Beberapa di antaranya ada yang sudah siap dengan lampu senter
kecil dan kantong kain tempat batu-batu kerikil. Di sana-sini terlihat
beberapa kendaraan juga sedang parkir, menunggu para penumpangnya
mencari kerikil.
“Jangan jauh-jauh!” terdengar suara ketua
rombongan memperingatkan. Orang-orang tidak mau mendengarkan. Bukan
karena apa-apa. Mereka sudah telanjur tidak simpati kepada petugas yang
menurut mereka hanya pandai bicara saja. Tak pernah ngurus jamaah.
Menemui jamaah hanya kalau mau menarik pungutan ini-itu yang tidak jelas
peruntukannya.
Tapi ketika sudah cukup lama dan masih banyak
yang ke sana-kemari, aku dan beberapa orang yang sudah dari tadi selesai
mencari kerikil, ikut membantu ketua rombongan meneriaki dan
bertepuk-tepuk tangan; memperingatkan mereka agar segera naik kendaraan.
Apalagi sopir bus –orang Mesir– sudah ngomel-ngomel terus sambil
naik-turun bus, tidak sabar. Apalgi kendaraan-kendaraan yang lain pun
sudah cabut bersama para penumpangnya menuju Mina.
Mereka
akhirnya kembali juga naik bus, meski ada di antara mereka yang sambil
menggerutu, “Sopir kok didengerin. Ini kan ibadah. Di sini aturannya
kita kan menginap. Mengapa buru-buru?”
“Sudahlah, mungkin si
sopir mempertimbangkan padatnya lalu-lintas, takut terlambat sampai
Mina,” aku mencoba menyabarkan si penggerutu.”Lagi pula kita kan di sini
sudah melewati jam 12. Jadi sudah terhitung menginap.”
Tiba-tiba, ketika ketua rombongan baru mengabsen dan menghitung jamaah,
terdengar Mbok Yem teriak histeris, “Mbah Joyo! Mana Mbah Joyoku?!”
Seketika semuanya baru menyadari bahwa Mbah Joyo belum kembali. Mbok Yem
meloncat turun dari bus sambil terus menangis dan menjerit-jerit
memanggil-manggil suaminya. Hampir seisi bus ikut turun. Ibu dan adikku
mengikutiku mengejar Mbok Yem, mencoba menenangkannya.
“Tenanglah, Mbok Yem,” bujuk ibuku sambil merangkul perempuan tua itu.
“Mbah Joyo tidak ke mana-mana. Kita pasti akan menemukannya.”
“Iya, Mbok,” adikku ikutan membujuk. “Kalau pun Mbah Joyo kesasar, di
sini ada petugas khusus yang ahli menemukan orang kesasar. Percayalah.”
“Ya, Mbok, kalau memang betul-betul kesasar, saya nanti yang akan
menghubungi polisi atau petugas yang lain,” aku menimpali. “Mbah Joyo
pasti kembali bersama kita lagi.”
Aku sendiri dan mungkin juga
ibu dan adikku tidak begitu yakin dengan apa yang kami katakan. Namun
alhamdulillah, meski masih terisak dan bicara sendiri, Mbok Yem bisa
agak tenang. “Mbah Joyo itu penyelamatku!” desisnya berkali-kali.
Kepala rombongan dan beberapa orang lelaki, termasuk sopir, yang
mencoba mencari sampai di luar area tempat mereka tadi mencari kerikil,
sudah kembali tanpa hasil. Ada yang menduga Mbah Joyo mungkin kesasar
naik kendaraan lain yang diparkir di dekat mereka. Kita berunding dan
sepakat akan meneruskan perjalanan sambil mencari. Semua kembali naik
bus. Mbok Yem yang dibimbing ibu dan adikku, sebentar-sebentar masih
menoleh ke arah padang gelap Muzdalifah. Ibu mengawani duduk dan masih
terus merangkul sahabat tuanya yang kini diam saja itu. *** Subuh, kami
baru sampai Mina. Semuanya terlihat letih, lebih-lebih Mbok Yem. Untung,
tidak lama mencari, kami telah sampai kemah maktab kami. Dan, begitu
masuk kemah, bukan main terkejut kami. Kami melihat Mbah Joyo sedang
duduk bersila menyantap buah anggur dari pinggan besar yang penuh aneka
buah-buahan. (Selain anggur, ada apel, jeruk, pisang, buah pir, dll).
Mbok Yem langsung menjerit, “Mbah Joyo!” dan menghambur serta memeluk
dan menciumi suaminya itu sambil menangis gembira. Mbah Joyo sendiri
hanya tersenyum-senyum agak malu-malu. Sejenak yang lain masih terpaku
keheranan. Baru kemudian meluncur hampir serempak, “Alhamdulillaaaah!”
Semuanya kemudian merubung Mbah Joyo yang masih terus dipeluk, dielus, dan diciumi Mbok Yem. Semuanya gembira.
“Sudah dulu, Mbok Yem,” tegur ketua rombongan, “nanti dilanjutkan
kangen-kangenannya. Biarlah Mbah Joyo bercerita dulu.” Kemudian kepada
Mbah Joyo, “Mbah Joyo, Sampeyan ke mana saja semalam?”
“Iya, Mbah,” sela yang lain, “Sampeyan salah masuk bus ya?!”
“Kok tahu-tahu Mbah Joyo sudah sampai di sini ini ceritanya bagaimana?” tanya yang lain lagi.
“Mbah Joyo sudah melempar jumrah ’aqabah?”
Mbah Joyo mengangguk sambil tersenyum. “Lihat, kan saya sudah pakai
piyama!” Kemudian bercerita seperti sedang menceritakan sebuah dongeng.
“Saya tidak kesasar dan tidak salah naik bus. Saya bertemu dengan
seorang muda yang gagah dan ganteng dan diajak naik kendaraannya yang
bagus sekali. Saya bilang bahwa saya bersama rombongan kawan dan istri
saya. Dia bilang sudah tahu dan meyakinkan saya bahwa nanti saya akan
ketemu juga di Mina. Bapak sudah tua, katanya, nanti capek kalau naik
bus. Akhirnya saya ikut. Sampai Mina saya dibawa kemari, disuruh
istirahat sebentar. Saya tertidur entah berapa lama. Tahu-tahu menjelang
subuh saya dibangunkan dan diajak melempar jumrah ’aqabah. Setelah itu
saya diantar kemari lagi. Sambil meninggalkan buah-buahan ini, dia pamit
dan katanya sebentar lagi kalian akan datang. Dan ternyata dia benar.”
“Dia itu siapa, Mbah? Orang mana?”
“Wah iya. Saya lupa menanyakannya. Soalnya begitu ketemu dia itu
langsung akrab. Jadi saya kemudian sungkan dan akhirnya, sampai dia
pergi, saya lupa menanyakan nama dan asalnya.”
“Ajaib!” ***
Sesudah selesai melempar jumrah ’aqabah, rupanya jamaah sudah tak tahan
lagi. Mereka bergelimpangan melepas lelah. Dan tak lama terdengar suara
ngorok dari sana-sini. Kulihat Mbok Yem sendiri yang tampak masih segar
dan ceria. Dia malah bercerita sambil memijit kaki ibuku. “Mumpung Mbah
Joyo tidur,” katanya. Sementara aku dan adikku ikut mendengarkan sambil
tiduran. Namun tersentuh cerita Mbok Yem, tak terasa kami berdua
akhirnya terduduk juga.
Rupanya Mbok Yem yakin apa yang dialami
Mbah Joyo itu merupakan anugerah Allah yang ada kaitannya dengan amal
perbuatannya. Dia menceritakan mengapa dia sampai histeris ketika Mbah
Joyo hilang di Muzdalifah. Mbok Yem ternyata dulunya adalah WTS
–sekarang “diperhalus” istilahnya menjadi Pekerja Seks Komersial– dan
Mbah Joyo adalah “langganan”-nya yang dengan sabar membuatnya sadar,
mengentasnya dari kehidupan mesum itu, dan mengawininya. Lalu Mbok Yem
dan Mbah Joyo memulai kehidupan yang sama sekali baru. Di samping
mendampingi Mbah Joyo bertani, Mbok Yem berjualan pecel, kemudian
meningkat dengan membuka warung makan kecil-kecilan. Dan sebagian dari
hasil pekerjaan mereka itu, mereka tabung sedikit demi sedikit. Bahkan
mereka rela hidup tirakat, demi mencapai cita-cita mereka: naik haji.
Mereka mempunyai keyakinan bahwa dosa-dosa mereka hanya bisa benar-benar
diampuni, apabila beristighfar di tanah suci, di Masjidil Haram, di
Arafah, di Muzdalifah, dan di Mina. Seperti kata pak kiai di kampungnya,
haji yang mabrur tidak ada balasannya kecuali surga. Ternyata baru
setelah setua itu, uang yang mereka tabung cukup untuk ongkos naik haji.
“Alhamdulillah, Mbah Joyo tidak benar-benar hilang,” kata Mbok Yem
mengakhiri ceritanya. “Sehingga kami berdua masih berkesempatan
menyempurnakan ibadah haji kami. Semoga Allah memudahkan. Setelah
selesai nanti, kami ikhlas, kalau Yang Maha Agung hendak memanggil kami
kapan saja. Syukur di sini, di tanah suci ini.”
Mbok Yem mengusap airmatanya, airmata bahagia, baru kemudian pelan-pelan dibaringkan tubuhnya di sisi ibuku. ***
3 comments for ""Mbok Yem" cerpen karya Gus Mus"