Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Dyari Sahabat____part 1


 Penulis : Muthya Sadeea


SEKELUMIT TYA
Dicintai oleh laki-laki sempurna adalah idaman banyak wanita. Siapapun itu. Namun, agaknya, hal itu sama sekali tidak berlaku untuk Tya. Bagaimana tidak. Dicintai oleh seorang pemuda yang ‘nyaris’ sempurna, justru membuatnya terpojok oleh banyak cerca dan cemooh. Menenggelamkannya dalam duka yang hanya ia simpan sendiri. Yah! Hanya sendiri menyimpan tangisnya.(geleng-geleng kepala sulit mempercayai)
Sebut saja Rama. Tak ada yang kurang dari penampilan fisiknya. Bertubuh atletis dengan wajah sedikit indo meski asli keturunan Sunda. Kulitnya putih bersih walalupun setiap hari bergulat dengan terik, keturunan. Sorot matanya tajam namun teduh. Membuat siapapun betah untuk berlama-lama melihat aura matanya. Lebih dari itu, Rama dianugrahi otak dengan pentium yang jika ada, 20. Bagaimana tidak? Ia bukan hanya menaklukkan prestasi-prestasi dunia akademisnya di bidang umum yang digelutinya. Tapi juga non akademisnya. Melalui olahraga basket yang ditekuninya sejak masih ingusan, band ternamanya yang dibesarkan oleh orang tuanya yang memang pengusaha sukses. Dan satu lagi, terlepas dari semua yang nampak, Rama adalah sosok yang ramah, mudah bergaul dan tak pernah mengusut ‘kasus’ ekonomi. Itu sebuah keajaiban. Karena meski terlahir dari keluarga yang cukup terpandang dan berada, sama sekali tak membuatnya membusungkan dada. Nyaris sempurna!!(lagi-lagi geleng-geleng kepala sulit untuk mempercayai)
Tengoklah Tya.
Gadis kecil lebih muda 3 tahun dari Rama ini, terlahir dari keluarga fanatic yang hanya mengedepankan urusan agama. Tya terlahir dengan cacat bawaan yang membuat wajahnya tak lagi seelok remaja pada umumnya. Sering ia mengeluh. Namun, akan berakhir dengan senyum yang membias. Toh aku masih diinginkan hidup. Itu kalimat yang sering ia gunakan untuk meredakan gejolak hatinya. Namun, jauh dibalik itu, Allah memang masih sangat menyayanginya. Ia diberikan banyak kelebihan yang cukup ia dan Tuhannya yang tahu itu. Dan yang menjadi modal utamanya dalam bergaul hanya satu. Sopan dalam bertindak dan berucap. Tak lebih!!
Hidup normal Tya yang ia lalui dengan senyum dan tanpa beban, tiba-tiba saja berubah menjadi ‘abnormal’ semenjak mencuat desus angin yang menerbangkan berita tentang ke’cacat’annya. Satu sumber, RAMA!!
Siapa yang tak mengenalnya. Yah! Bahkan sampai supir dari teman-teman sekampuspun akan mengenalnya. Lebih dari karena ia seorang aktris keren dan cool yang sering dipuja-puja. Tapi karena keramahan dan kemurah senyuman yang ia tebarkan.
Rama mencintai Tya.
Jelas itu menggemparkan kampus elite itu. Bagaimana tidak? Siapa Rama dan siapa Tya? Pungguk merindukan bulan. Desah mereka penuh penghinaan. Memandang air hanya dari permukaannya saja. Padahal, bisa jadi ia sangat dalam. Mereka seperti sekawanan ‘penjahat’ yang mendapatkan banyak kawan untuk meng’anjlok’kan citra Tya di depan banyak mata. Ah, ya! Tya yang memang dikenal ringan tangan dan suara khas kanak-kanaknya.
Ke’abnormal’an kehidupan Tya dimulai.
Baginya, hinaan itu sudah seperti angin yang mengehembusnya. Dikata main dukun, pelet, jimat, atau apalah. Tya masih tersenyum meski hatinya menjerit. Beruntungnya dia, masih mempunyai 1 teman kepercayaan. Panggil saja, Bib. Tapi, sudah jatuh tertimpa tangga. Hanya karena hembus fitnah itu, persahabatannya dengan Bib juga harus kena getahnya. Masih karena hal yang sama. Bib seorang cewek sempurna idaman kaum adam di kampus elite itu. Juga terlahir dari keluarga yang sama terpandangnya dengan keluarga Rama. Tya semakin terpuruk dalam ambang ke’bertahan’annya untuk berselimut dusta di balik senyum ketegarannya.
Tapi, bukan Tya namanya jika tak bisa menyimpan rahasia hatinya dengan baik. Bahkan terkadang, bayupun sama sekali tak ia izinkan untuk mengetahuinya. Ah, Tya!! Ia masih sangat percaya, kekuatan Tuhannya ada dalam dirinya. Mengaliri tiap cc darahnya. Meyaqini Tuhannya tak pernah tidur dengan apa yang sudah Tya adukan dalam malam-malam panjangnya. Karena memang itulah Tya. Dasar, kamu!
Allah…
Jika aku boleh meminta, aku ingin meminta sebuah kejujuran. Kejujuran bumi tentang fitnah mereka. Bukan. Bukan berharap keburukan untuk mereka. Jika benar dia yang menghembuskan ini semua, seretlah ia ke hadapanku. Biar tangan dan mulutku yang mengadilinya. Dia salah, jika menilai semua hanya dari batas materi yang ia miliki. Aku sama sekali tak meliriknya. Karena aku tahu, masih banyak wanita yang akan jadi opsinya.
Jika kejujuran itu merupakan kunci ‘iya’, ah, betapa bodohnya dia yang telah salah memilihku. Harusnya ia didatangkan seorang spesialis mata, biar rabunnya bukan tingkat tinggi. Melirikku dan mengobrak-abrik hati Hawa sekian banyak. Terlalu gila!
Namun, jika ternyata berbalik ‘tidak’, setidaknya ia buka mulut. Menyelamatkanku dari cerca-cerca kotor yang menghujani hariku. Ah, betapa tidak tahunya dia tentang sakitku ini.
Allah…
Andai ‘iya’, apa mungkin aku bisa menerimanya? Ini sama sekali bukan pertanda aku mengharapkan kunci itu. Tidak! Tapi….yah, kau betul! Dia memang jauh begitu sempurna jika hanya akan ‘menyanding’ku.#huft!!pedeamat>,
Ia tersenyum sendiri. Tak ada yang bias mengartikan senyum itu. Bahkan, hatinya sendiri bertanya, mengapa harus tersenyum? Bodoh sekali!
Hingga suatu pagi cerah menyapa kafilah bumi.
Ia sama sekali tak menyadari, sepasang mata itu tengah mengintainya sejak ia mendekap tenang di bawah pohon rindang di taman kampus. Lalu lalang mahasiswa lainnya sama sekali tak mengganggu konsentrasinya yang tengah asyik menyelami sebuah buku kontemporer di hadapannya. Rasulallah Leadership. Buku setebal hampir 500 halaman itu benar-benar menyita perhatiannya.
“Lihat saja, gadis sekuper dia, bias membuat Rama kepincut? Pasti dukunnya ampuh banget tuh! Ups, keturunan darah biru walisongo. Hahahaha…”, suara itu jelas membuatnya mendongak. Menelan ludah sejenak saat ia merasa, ialah objek dari ucapan kasar mereka.
“Diajari dong say…ndukun yang super ampuh!”, ujarnya setengah berbisik tepat di muka Tya. Allah…siramilah ia dengan kesabaran.
“Cukup dengan bagaimana kau memperhalus bahasamu, aku yaqin, bukan hanya Rama yang akan tunduk padamu”, ujar Tya lembut mendamaikan. Tapi, sosoknya tercekat. Matanya membulat penuh amarah.
“Eh, cewek udik! Gak  usah ya, lo ngajarin gue cara ngomong yang bener! Cewek kampungan!”.
PLAK!!
Itu bukan tangan Tya. Sebuah tamparan yang cukup untuk menyita banyak mata.
“Sekali lo berani ngolok-ngolok Tya, gue pastiin wajah lo gak akan lagi keliaran di kampus ini!”, itu Bib. Suara lantangnya benar-benar seperti speaker berpindah tempat. Siapa yang tak mengenalnya. Putra donator besar di kampus elite itu.
Keempat kawanan manusia ‘genit’ itu ngacir, meski menyisakan berang luar biasa pada, bukan, bukan pada Bib. Tapi, justru pada Tya. Ah, malang sekali Tya. Seperti itu mungkin jadi orang yang hanya di pandang sebelah mata.
Sepeninggal mereka, Tya kembali terduduk di tempatnya semula. Ia menunduk dalam menahan genangan air mata di pelupuknya.
“Nih!”, tangan Bib mengulur memberikan sebuah sapu tangan. Tya menerimanya.
“Gue bersumpah, akan buat perhitungan dengan Rama. Ia sama sekali tak bertanggung jawab atas tangis yang selama ini lo sembunyiin. Gue jamin, dia yang akan menyudahi tangis lo oleh cemoohan mereka. Yang sabar Ya’. Gue ada di belakang lo”, Bib mantap sekali dengan kata-katanya. Yang jika saja ada perumpamaannya, seperti cabai merah yang baru dipanen. Hohoho.
Tapi, siapa tahu. Pengintai itu masih bergeming di tempatnya. Ia menarik nafasnya berat. Sperti terkena sesak nafas. Qiqiqiqi_
                                                        ***
Peristiwa bersejarah itu akan terukir dalam lubuk hatinya. Kejadian 5 tahun lalu yang akan masih sangat dikenangnya. Ah, Tya. Aku tersenyum mengenangmu. Mengenang ceritamu yang bak nasihat kehidupan.
Siang itu, hanya ada Tya dan Bib. Di sebuah ruangan cukup besar. Bukan, bukan sekedar ruangan. Gedung teater. Hanya ada beberapa sinar tak jelas yang membekas. Di ujung sana, lelaki dengan kaos lengan panjangnya tampak bingung kemana hendak melangkah. Pupilnya menajam mencari sebuah bayang. Yah… mengarah bangku paling depan tempat Bib dan Tya duduk sejak 15 menit lalu.
“Kamu mengundangku ke sini?”, tanyanya sedikit bodoh. Ya iyalah! Gak dilihat apa, gak ada orang selain mereka berdua. Bib membanting pandangannya dari mata teduh itu.
“Gue gak mau dengar panjang basa-basi lo! Sekarang, katakan! Apa mau lo dengan berhembusnya berita bahwa kau menyukai Tya?”, gertak Bib di awal kalimatnya. Yang ditanya masih tertunduk. Sibuk merangkai kalimat yang akan diluncurkannya.
“Lo gak pernah tahu, gimana Tya ngadepin ini semua sendiri. Lo cowok atau banci! Kalo lo emang suka, ngomong gentle. Gak Cuma diam berlindung di balik penderitaan Tya. Heran gue!”, lanjut Bib lagi sarat emosi. Tya? Ia masih tertunduk menjaga hatinya. Ia tak sanggup untuk marah. Hatinya seperti…ah, cukuplah ia menangis sebagai ganti marahnya.
“Lo punya apapun tanpa harus mengusik Tya? Dia terlalu lemah menghadapi ini sendiri. Sadar atau enggak, sengaja atau enggak, lo satu-satunya sumber dari ini semua. Lo lihat! Tya Cuma bisa nangis. Lo? Lo bisa ngelakuin banyak hal tanpa Tya bukan? Jadi, sudahlah! Hentikan sandiwara konyol ini. Gue capek banget liat tingkah sok kecakepan lo itu. Cukup, lo jadi arjuna bagi cewek-cewek di luar sana. Tapi gak buat gue!”, kalimatnya dalam menoreh batin pemuda di hadapannya.
“Cukup, Bib! Hentikan semua cercauanmu tentangku. Kamu gak lebih tahu tentang hatiku. Sekarang, simak kalimatku dengan seksama”, tak kalah tegas. Suara itu masih saja terdengar lembut meski terdengar seperti bentakan. Tya masih tak berubah dari posisi awalnya.
“Apa kamu kira aku meminta untuk mencintai Tya tiba-tiba? Aku diam karena aku tahu, justru Tya yang akan berpikir seribu kali untuk menerimaku. Aku dan dia seperti langit dan jurang. Jauh berbeda! Aku mencintai Tya dalam diamku karena dia gak sepatutnya menerima rasa hina ini”.
“Tapi, justru itu yang membuat Tya semakin tertekan!”.
“Diam, Bib! Dengarkanlah lebih dahulu penuturanku”, gertakannya cukup untuk membuat Bib menutup mulutnya. Yang jika saja tanpa suara Rama, pasti akan meledak-ledak.(dikira bom kaliii….qiqiqiqi)
“Aku tak tahu mengapa tiba-tiba saja aku sering memperhatikan Tya diam-diam. Dan rasa ini hadir begitu saja. Aku belum berani menyimpulkan kalau ini cinta, karena aku sama sekali tak berharap bisa memiliki Tya. Aku hanya bahagia saat melihatnya begitu bahagia. Hanya itu! Aku sadar, ini adalah sebuah kesalahan saat aku hanya berdiam melihatnya sering menangis sendiri. Tapi, percayalah. Aku tak ingin mempermainkan hatiku sendiri, lebih-lebih hati Tya. Bukan karena suatu apapun. Tapi, nampaknya, Tuhan tengah manautkan hatiku padanya”, kalimat panjangnya cukup untuk membuat Tya semakin terisak di tempatnya. Bib tercengang tak percaya dibuatnya.
“Jika memang ini dianggap sangat melukai Tya, baiklah, aku akan bicara. Di hadapan mereka. Akan kusingkap rahasia ini semua. Asal Tya bisa kembali tersenyum dan tak terusik tanpa perasaan yang tak ingin aku sekalipun menodainya. Itu janjiku”, lanjutnya. Kemudian berlalu begitu saja meninggalakan Tya yang kini tengah dalam dekapan Bib.
Andai aku di posisi Tya, tak akan kulewatkan kesempatan itu. Dan lagi-lagi aku tersenyum mengenang tentangmu.
Perlahan, Bib melepas pelukannya. Menetap tajam kearah mata Tya yang dagunya di angkat olehnya. Diselaminya tatapan sayu Tya.
“Lo mencintainya?”, pertanyaan itu mengena Tya tepat di sasarannya. Segera Tya menghindari tatapan Tya. Menunduk sedalam mungkin dalam isaknya. Tya mengangkat kepala Tya sekali lagi.
“Tya, jawab gue! Lo ada hati sama Rama?”, suaranya lebih seperti paksaan, bukan pertanyaan yang membutuhkan jawaban.
“Aku gak tahu ini apa, Bib. Mungkin, ini sama seperti kekaguman mereka pada Rama. Aku sulit untuk mendeskripsikannya. Aku hanya berharap, ini bukan cinta seperti apa yang kau tanyakan”, suara Tya tenggelam dalam pelukan Bib. Ah, andai aku juga ada di sampingmu, aku ingin sekali ikut mendekapmu. Mendamaikanmu dengan keputusan alam. Bahwa nilai fisikmu masih ada yang tak memandangnya. Mereka yang masih mengagungkan hatimu. Ah, Tya! Mengapa kau hanya bertahan dengan tangis. Buktikan, kamupun bias sempurna dengan ‘cacat’mu.
Aku tak tahu bagaimana menceritakan tentangmu. Mebuka semua tentangmu dalam balkon ingatanku. Kemudian mengabadikanmu seperti bonsai-bonsai mungil di jerambah hatiku. Tya…betapapun kurangnya kamu, itu adalah kelebihanmu. Allah menyayangimu....
Posted by Penerbit imtiyaz,http://imtiyaz-publisher.blogspot.com/Penerbit Buku Buku Islam

2 comments for "Dyari Sahabat____part 1"

Anonymous 26 March 2013 at 21:14 Delete Comment
keren..
Belajar itu pilihan .... 15 June 2013 at 21:35 Delete Comment
dalemm..