Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Rumah yang terang

Oleh: Ahmad Tohari
Listrik sudah empat tahun masuk kampungku dan sudah banyak yang dilakukannya. Kampung seperti mendampat injeksi tenaga baru yang membuatnya menggeliat penuh gairah. Listrik memberi kampungku cahaya, musik, es, sampai api dan angin. Di kampungku, listrik juga membunuh bulan di langit. Bulan tidak lagi menarik hati anak-anak. Bulan tidak lagi mampu membuat bayang-bayang pepohonan. Tapi kampung tidak merasa kehilangan bulan. Juga tidak merasa kehilangan tiga laki-laki yang tersengat listrik hingga mati.

Sebuah tiang lampu tertancap di depan rumahku. Seperti semasa teman-temannya sesama tiang listrik yang membawa perubahan pada rumah yang terdekat, demikian halnya beton langsing yang menyangga kabel-kabel di depan rumahku itu. Bedanya, yang dibawa ke rumahku adalah celoteh-celoteh sengit dua tetangga di belakang rumahku.

Sampai sekian lama, rumahku tetap gelap. Ayahku tidak mau pasang listrik. Inilah yang membuat tetangga di belakang rumah jengkel terus-terusan. Keduanya sangat berhasrat menjadi pelanggan listrik. Tapi hasrat mereka tak mungkin terlaksana sebelum ada dakstang di bubungan rumahku. Rumah dua tetangga di belakang itu terlalu jauh dari tiang.
Kampungku yang punya kegemaran berceloteh seperti mendapat jalan buat berkata seenaknya terhadap ayah. Tentu saja dua tetangga itulah sumbernya. “Haji Bakir itu seharusnya berganti nama menjadi Haji Bakhil. Dia kaya tetapi tak mau pasang listrik. Tentu saja dia kawatir akan keluar banyak duit.”

Kadang celoteh yang sampai di telingaku sedemikian tajam sehingga aku tak kuat lagi menerimanya. Mereka mengatakan ayahku memelihara tuyul. “Tentu saja Haji Bakir tak mau pasang listrik karena tuyul tidak suka cahaya terang.”

Yang terakhir kedua tetangga itu merencanakan tindakan yang lebih jauh. Entah belajar dari mana mereka menuduh ayahku telah melanggar asas kepentingan umum. Mereka menyamakan ayahku dengan orang yang tidak mau menyediakan jalan bagi seseorang yang bertempat tinggal di tanah yang terkurung. Konon mereka akan mengadukan ayahku kepada lurah.

Aku sendiri bukan tidak punya masalah dengan sikap ayah. Pertama, akulah yang lebih banyak menjadi bulan-bulanan celoteh yang kian meluas di kampungku. Ini sungguh tidak nyaman. Kedua, gajiku sebagai propagandis pemakaian alat kontrasepsi memungkinkan aku punya radio, pemutar pita rekaman, juga TV (karena aku masih bujangan). Maka alangkah konyolnya sementar listrik ditawarkan sampai ke depan rumah, aku masih harus repot dengan setiap kali membeli baterei dan nyetrum aki.

Ketika belun tahu latar belakang sikap ayah, aku sering membujuk. Lho, kenapa aku dan ayah tidak ikut beramai-ramai bersama orang sekampung membunuh bulan? Pernah kukatakan, apabila ayah enggan mengeluarkan uang maka pasal memasang listrik akulah yang menanggung biayanya. Karena kata-kataku ini ayah tersinggung. Tasbih di tangan ayah yang selalu berdecik tiba-tiba berhenti.

“Jadi kamu seperti orang-orang yang mengatakan aku bakhil dan pelihara tuyul?”

Aku menyesal. Tapi tak mengapa karena kemudian ayah mengatakan alasan yang sebenarnya mengapa beliau tidak mau pasang listrik. Dan alasan itu tak mungkin kukatakan kepada siapa pun, khawatir hanya mengundang celoteh yang lebih menyakitkan. Aku tak rela ayah mendapat
cercaan lebih banyak.

Betapa juga ayah adalah orang tuaku, yang membiayai sekolahku sehingga aku kini adalah seorang propagandis pemakaian alat kontrasepsi. Lalu mengapa orang kurang menghayati status yang kini kumiliki. Menjadi propagandis tersebut tidak hanya membawa keuntungan materi berupa gaji dan insentif melainkan ada lagi yang lain. Jadi, aku mengalah pada keteguhan sikap ayah. Rela setiap kali beli baterai dan nyetrum aki, dan rela menerima celoteh orang sekampung yang tiada hentinya.

Ketika ayah sakit, beliau tidak mau dirawat di rumah sakit. Keadaan beliau makin hari makin serius. Tapi beliau bersiteguh tak mau diopname. Aku berusaha menyingkirkan perkara yang kukira menyebabkan ayah tak mau masuk rumah sakit.

“Apakah ayah khawatir di rumah sakit nanti ayah akan dirawat dalam ruang yang diterangi lampu listrik? Bila demikian halnya maka akan kuusahakan agar mereka menyalakan lilin saja khusus bagi ayah. Tanggapan ayah ada rasa tersinggung yang terpancar dari mata beliau yang sudah biru memucat. Ya, Tuhan, lagi-lagi aku menyesal. Dan jiwaku mendadak buntu ketika mendengar ucapan ayah yang keluar tersendat-sendat.

“Sudahlah, Nak. Kamu lihat sendiri aku hampir mati. Sepeninggalku nanti kamu bisa secepatnya memasang listrik di rumah ini. Tidak pernah sekalipun aku mendengar kata-kata ayah yang mengandung ironi demikian tajam. Sesalku tak habis-habisnya. Dan malu. Keahlianku melakukan pendekatan verbal yang biasa aku lakukan selama menjadi propagandis alat kontrasepsi ternyata hanya punya arti negatif di hadapan ayah. Lebih malu lagi karena ucapan ayah tadi adalah kata-kata terakhir yang ditujukan kepadaku.

Seratus hari sudah kematian ayah orang-orang bertahlil di rumahku sudah duduk di bawah lampu neon dua puluh watt. Mereka memandangi lampu dan tersenyum. Dua tetangga belakang yang tentu saja sudah pasang listrik mendekatiku.

“Nah, lebih enak dengan listrik, ya Mas?”
Aku diam karena sebal melihat gaya mereka yang pasti menghubung-hubungkan pemasangan listrik di rumahku yang baru bisa terlaksana sesudah kematian ayah. Oh, mereka tidak tahu bahwa aku sendiri menjadi linglung.

Listrik memang sudah kupasang tapi aku justru takut menghidupkan radio, TV, dan pemutar pita rekaman. Sore hari aku tak pernah berbuat apa pun sampai ibu yang menghidupkan lampu. Aku enggan menjamah sakelar karena setiap kali aku melakukan hal itu tiba-tiba bayangan ayah muncul dan kudengar keletak-keletik suara tasbihnya. Linglung. Maka tiba-tiba mulutku nyerocos. Kepada tamu yang bertahlil aku mengatakan alasan yang sebenarnya mengapa ayahku tidak suka listrik, suatu hal yang seharusnya tetap kusimpan.

“Ayahku memang tidak suka listrik. Beliau punya keyakinan hidup dengan listrik akan mengundang keborosan cahaya. Apabila cahaya dihabiskan semasa hidupnya maka ayahku khawatir tidak ada lagi cahaya bagi beliau di dalam kubur”.

Aku siap menerima celoteh dan olok-olok yang mungkin akan dilontarkan para tamu. Karena aku sendiri pernah menertawakan pikiran ayah yang antik itu. Aneh, para tamu malah menunduk. Aku juga menunduk, sambil berdoa tanpa sedikitpun kadar olok-olok. Kiranya ayahnya mendapat cukup cahaya di alam sana.
***

Sebuah tiang lampu tertancap di depan rumahku. Seperti semasa teman-temannya sesama tiang listrik yang membawa perubahan pada rumah yang terdekat, demikian halnya beton langsing yang menyangga kabel-kabel di depan rumahku itu. Bedanya, yang dibawa ke rumahku adalah celoteh-celoteh sengit dua tetangga di belakang rumahku.
Sampai sekian lama, rumahku tetap gelap. Ayahku tidak mau pasang listrik. Inilah yang membuat tetangga di belakang rumah jengkel terus-terusan. Keduanya sangat berhasrat menjadi pelanggan listrik. Tapi hasrat mereka tak mungkin terlaksana sebelum ada dakstang di bubungan rumahku. Rumah dua tetangga di belakang itu terlalu jauh dari tiang.Kampungku yang punya kegemaran berceloteh seperti mendapat jalan buat berkata seenaknya terhadap ayah. Tentu saja dua tetangga itulah sumbernya. “Haji Bakir itu seharusnya berganti nama menjadi Haji Bakhil. Dia kaya tetapi tak mau pasang listrik. Tentu saja dia kawatir akan keluar banyak duit.”
Kadang celoteh yang sampai di telingaku sedemikian tajam sehingga aku tak kuat lagi menerimanya. Mereka mengatakan ayahku memelihara tuyul. “Tentu saja Haji Bakir tak mau pasang listrik karena tuyul tidak suka cahaya terang.” 
Yang terakhir kedua tetangga itu merencanakan tindakan yang lebih jauh. Entah belajar dari mana mereka menuduh ayahku telah melanggar asas kepentingan umum. Mereka menyamakan ayahku dengan orang yang tidak mau menyediakan jalan bagi seseorang yang bertempat tinggal di tanah yang terkurung. Konon mereka akan mengadukan ayahku kepada lurah.
Aku sendiri bukan tidak punya masalah dengan sikap ayah. Pertama, akulah yang lebih banyak menjadi bulan-bulanan celoteh yang kian meluas di kampungku. Ini sungguh tidak nyaman. Kedua, gajiku sebagai propagandis pemakaian alat kontrasepsi memungkinkan aku punya radio, pemutar pita rekaman, juga TV (karena aku masih bujangan). Maka alangkah konyolnya sementar listrik ditawarkan sampai ke depan rumah, aku masih harus repot dengan setiap kali membeli baterei dan nyetrum aki. 
Ketika belun tahu latar belakang sikap ayah, aku sering membujuk. Lho, kenapa aku dan ayah tidak ikut beramai-ramai bersama orang sekampung membunuh bulan? Pernah kukatakan, apabila ayah enggan mengeluarkan uang maka pasal memasang listrik akulah yang menanggung biayanya. Karena kata-kataku ini ayah tersinggung. Tasbih di tangan ayah yang selalu berdecik tiba-tiba berhenti.
“Jadi kamu seperti orang-orang yang mengatakan aku bakhil dan pelihara tuyul?”
Aku menyesal. Tapi tak mengapa karena kemudian ayah mengatakan alasan yang sebenarnya mengapa beliau tidak mau pasang listrik. Dan alasan itu tak mungkin kukatakan kepada siapa pun, khawatir hanya mengundang celoteh yang lebih menyakitkan. Aku tak rela ayah mendapat cercaan lebih banyak.
Betapa juga ayah adalah orang tuaku, yang membiayai sekolahku sehingga aku kini adalah seorang propagandis pemakaian alat kontrasepsi. Lalu mengapa orang kurang menghayati status yang kini kumiliki. Menjadi propagandis tersebut tidak hanya membawa keuntungan materi berupa gaji dan insentif melainkan ada lagi yang lain. Jadi, aku mengalah pada keteguhan sikap ayah. Rela setiap kali beli baterai dan nyetrum aki, dan rela menerima celoteh orang sekampung yang tiada hentinya.
Ketika ayah sakit, beliau tidak mau dirawat di rumah sakit. Keadaan beliau makin hari makin serius. Tapi beliau bersiteguh tak mau diopname. Aku berusaha menyingkirkan perkara yang kukira menyebabkan ayah tak mau masuk rumah sakit.
“Apakah ayah khawatir di rumah sakit nanti ayah akan dirawat dalam ruang yang diterangi lampu listrik? Bila demikian halnya maka akan kuusahakan agar mereka menyalakan lilin saja khusus bagi ayah. Tanggapan ayah ada rasa tersinggung yang terpancar dari mata beliau yang sudah biru memucat. Ya, Tuhan, lagi-lagi aku menyesal. Dan jiwaku mendadak buntu ketika mendengar ucapan ayah yang keluar tersendat-sendat. 
“Sudahlah, Nak. Kamu lihat sendiri aku hampir mati. Sepeninggalku nanti kamu bisa secepatnya memasang listrik di rumah ini. Tidak pernah sekalipun aku mendengar kata-kata ayah yang mengandung ironi demikian tajam. Sesalku tak habis-habisnya. Dan malu. Keahlianku melakukan pendekatan verbal yang biasa aku lakukan selama menjadi propagandis alat kontrasepsi ternyata hanya punya arti negatif di hadapan ayah. Lebih malu lagi karena ucapan ayah tadi adalah kata-kata terakhir yang ditujukan kepadaku.
Seratus hari sudah kematian ayah orang-orang bertahlil di rumahku sudah duduk di bawah lampu neon dua puluh watt. Mereka memandangi lampu dan tersenyum. Dua tetangga belakang yang tentu saja sudah pasang listrik mendekatiku.
“Nah, lebih enak dengan listrik, ya Mas?”Aku diam karena sebal melihat gaya mereka yang pasti menghubung-hubungkan pemasangan listrik di rumahku yang baru bisa terlaksana sesudah kematian ayah. Oh, mereka tidak tahu bahwa aku sendiri menjadi linglung. 
Listrik memang sudah kupasang tapi aku justru takut menghidupkan radio, TV, dan pemutar pita rekaman. Sore hari aku tak pernah berbuat apa pun sampai ibu yang menghidupkan lampu. Aku enggan menjamah sakelar karena setiap kali aku melakukan hal itu tiba-tiba bayangan ayah muncul dan kudengar keletak-keletik suara tasbihnya. Linglung. Maka tiba-tiba mulutku nyerocos. Kepada tamu yang bertahlil aku mengatakan alasan yang sebenarnya mengapa ayahku tidak suka listrik, suatu hal yang seharusnya tetap kusimpan.
“Ayahku memang tidak suka listrik. Beliau punya keyakinan hidup dengan listrik akan mengundang keborosan cahaya. Apabila cahaya dihabiskan semasa hidupnya maka ayahku khawatir tidak ada lagi cahaya bagi beliau di dalam kubur”.
Aku siap menerima celoteh dan olok-olok yang mungkin akan dilontarkan para tamu. Karena aku sendiri pernah menertawakan pikiran ayah yang antik itu. Aneh, para tamu malah menunduk. Aku juga menunduk, sambil berdoa tanpa sedikitpun kadar olok-olok. Kiranya ayahnya mendapat cukup cahaya di alam sana.***
Cerpen dikutip dari Antologi cerpen Ahmad Tohari, “Senyum Karyamin” (Gramedia, 1995). Ahmad Tohari adalah salah satu sastrawan terkemuka Tanah Air. Karyanya, “Ronggeng Dukuh Paruk” selain sudah diangkat ke layar lebar juga diterjemahkan ke berbagai bahasaPosted by Penerbit imtiyaz,http://imtiyaz-publisher.blogspot.com/ Penerbit Buku Buku Islam

Post a Comment for "Rumah yang terang"