Berita duka kembali mendera umat Islam. Sejumlah situs yang menjadi
petanda sejarah gemilang peradaban umat terdahulu diluluhlantakkan satu
kelompok atas nama Islam, Ansharud Din, di Mali. Dengan beringas dan
barbar ala aksi tentara Mongol kala menghancurkan Kota Baghdad, kelompok
militan yang terkoneksi dengan Al-Qaidah tersebut menghancurkan makam
Sidi Mahmoud, Sidi Moctar, dan Alpha Moya.
Pada Ahad mereka
menyerang empat makam lainnya termasuk makam Cheikh el-Kebir, sedangkan
para warga setempat hanya berdiri menyaksikan tanpa daya. Kelompok Islam
garis keras yang menguasai Timbuktu bersama dengan wilayah bagian
selatan Mali tiga bulan lalu, menganggap tempat makam para ulama itu
sebagai berhala.
Di Tanah Air sendiri, hal seperti di atas
tampaknya belum akan terjadi pada waktu dekat ini. Namun,
pikiran-pikiran ke arah sana sudah terancang jauh-jauh hari. Adalah
Hartono Ahmad Jaiz. Lewat bukunya Kuburan-Kuburan Keramat di Nusantara,
Hartono yang konon ahli dalam masalah aliran sesat, menyatakan bahwa
makam-makam para Wali Songo yang sering diziarahi oleh Umat sebagai
tempat kesyirikan dan karenanya harus dihilangkan sama sekali.
Kata Hartono dalam bukunya halaman 271, “Tidak boleh bertabarruk dengan
orang shalih, baik dengan dzatnya, bekasnya, tempat ibadahnya, tempat
berdirinya, kuburnya dan juga tidak boleh melakukan perjalanan jauh
untuk mengunjungi kuburnya. Tidak boleh shalat di samping kuburnya,
meminta berbagai keperluan, mengusap, dan beri’tikaf di sisinya. Juga
tidak boleh bertabarruk dengan hari atau tempat kelahiran mereka.
Barangsiapa melakukan itu untuk bertaqarrub kepada mereka dengan
keyakinan bahwa mereka dapat memberikan manfa’at dan madharat, maka dia
telah berbuat syirik besar. Sedangkan yang meminta keberkahan kepada
Allah subhanahu wa ta’ala dengan perantaraan mereka, maka dia telah
melakukan bid’ah yang mungkar.”
Selain itu, kata Hartono Ahmad
Jaiz, “Berbondong-bondong “Ngalap’ berkah ke kuburan wali bukan tradisi
Islam, tapi tradisi Hindu.” Oleh karena itu, dia menghukumi musyrik.
Jadi, umat Islam termasuk para ulama, kyai dan haba’ib yang suka ziarah
ke makam-makam keramat adalah orang-orang musyrik.
Benarkah
klaim sepihak kaum militan Mali dan Hartono bersama sekutunya itu? Kita
perlu membuka kembali buku berjudul Buku Pintar Berdebat Dengan Wahabi
(silakan men-download buku ini di: http://www.4shared.com/office/9Ll8o2yy/buku-pintar-berdebat-dengan-wa.html ], karya Ustadz Muhammad Idrus Ramli. Berikut kutipan lengkapnya minus tulisan bahasa arabnya:
“Dalam sebuah diskusi di Masjid At-Taqwa, Denpasar Bali, ada peserta
yang bertanya, “Bagaimana Islam menanggapi orang-orang yang melakukan
ziarah ke makam para wali dengan tujuan mencari berkah?”
Di
antara amal yang dapat mendekatkan seseorang kepada Allah subhanahu wa
ta’ala adalah ziarah makam para nabi atau para wali. Baik ziarah
tersebut dilakukan dengan tujuan mengucapkan salam kepada mereka atau
karena tujuan tabarruk (ngalap barokah) dengan berziarah ke makam
mereka. Maksud tabarruk di sini adalah mencari barokah dari Allah
subhanahu wa ta’ala dengan cara berziarah ke makam para wali.
Orang yang berziarah ke makam para wali dengan tujuan tabarruk, maka
ziarah tersebut dapat mendekatkannya kepada Allah subhanahu wa ta’ala
dan tidak menjauhkannya dari Allah subhanahu wa ta’ala. Orang yang
berpendapat bahwa ziarah wali dengan tujuan tabarruk itu syirik, jelas
keliru. Ia tidak punya dalil, baik dari al-Qur’an maupun dari hadits
Nabi shallallahu alaihi wa sallam. Al-Hafizh Waliyyuddin al-’Iraqi
berkata ketika menguraikan maksud hadits: “Sesungguhnya Nabi Musa u
berkata, “Ya Allah, dekatkanlah aku kepada tanah suci sejauh satu
lemparan dengan batu.” Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda: “Demi
Allah, seandainya aku ada disampingnya, tentu aku beritahu kalian letak
makam Musa, yaitu di tepi jalan di sebelah bukit pasir merah.”
Ketika menjelaskan maksud hadits tersebut, al-Hafizh al-’Iraqi berkata:
“Hadits tersebut menjelaskan anjuran mengetahui makam orang-orang saleh
untuk dizarahi dan dipenuhi haknya. Nabi shallallahu alaihi wa sallam
telah menyebutkan tanda-tanda makam Nabi Musa u yaitu pada makam yang
sekarang dikenal masyarakat sebagai makam beliau. Yang jelas, tempat
tersebut adalah makam yang ditunjukkan oleh Nabi shallallahu alaihi wa
sallam.” (Tharh al-Tatsrib, [3/303]).
Pada dasarnya ziarah
kubur itu sunnat dan ada pahalanya. Rasulullah shallallahu alaihi wa
sallam bersabda: “Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda:
“Dulu aku melarang kamu ziarah kubur. Sekarang ziarahlah.” (HR. Muslim).
Dalam satu riwayat, “Barangsiapa yang henda ziarah kubur maka
ziarahlah, karena hal tersebut dapat mengingatkan kita pada akhirat.”
(Riyadh al-Shalihin [bab 66]).
Di sini mungkin ada yang
bertanya, adakah dalil yang menunjukkan bolehnya ziarah kubur dengan
tujuan tabarruk dan tawassul? Sebagaimana dimaklumi, tabarruk itu punya
makna keinginan mendapat berkah dari Allah subhanahu wa ta’ala dengan
berziarah ke makam nabi atau wali. Kemudian para nabi itu meskipun telah
pindah ke alam baka, namun pada hakekatnya mereka masih hidup. Dengan
demikian, tidak mustahil apabila mereka merasakan datangnya orang yang
ziarah, maka mereka akan mendoakan peziarah itu kepada Allah subhanahu
wa ta’ala. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda: “Para nabi
itu hidup di alam kubur mereka seraya menunaikan shalat.” (HR.
al-Baihaqi dalam Hayat al- Anbiya’, [1]).
Sebagai penegasan
bahwa Nabi shallallahu alaihi wa sallam yang telah wafat, dapat
mendoakan orang yang masih hidup, adalah hadits berikut ini: “Dari
Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu alaihi wa
sallam bersabda: “Hidupku lebih baik bagi kalian. Kalian berbuat
sesuatu, aku dapat menjelaskan hukumnya. Wafatku juga lebih baik bagi
kalian. Apabila aku wafat, maka amal perbuatan kalian ditampakkan
kepadaku. Apabila aku melihat amal baik kalian, aku akan memuji kepada
Allah. Dan apabila aku melihat sebaliknya, maka aku memintakan ampun
kalian kepada Allah.” (HR. al-Bazzar, [1925]).
Karena keyakinan
bahwa para nabi itu masih hidup di alam kubur mereka, kaum salaf sejak
generasi sahabat melakukan tabarruk dengan Nabi shallallahu alaihi wa
sallam setelah beliau wafat. Hakekat bahwa para nabi dan orang saleh itu
masih hidup di alam kubur, sehingga para peziarah dapat bertabarruk dan
bertawassul dengan mereka, telah disebutkan oleh Syaikh Ibn Taimiyah
berikut ini:
Tidak masuk dalam bagian ini (kemungkaran menurut
ulama salaf) adalah apa yang diriwayatkan bahwa sebagian kaum mendengar
jawaban salam dari makam Nabi shallallahu alaihi wa sallam atau makam
orang-orang saleh, juga Sa’id bin al-Musayyab mendengar adzan dari makam
Nabi shallallahu alaihi wa sallam pada malam-malam peristiwa al-Harrah
dan sesamanya. Ini semuanya benar, dan bukan yang kami persoalkan.
Persoalannya lebih besar dan lebih serius dari hal tersebut. Demikian
pula bukan termasuk kemungkaran, adalah apa yang diriwayatkan bahwa
seorang laki-laki datang ke makam Nabi shallallahu alaihi wa sallam lalu
mengadukan musim kemarau kepada beliau pada tahun ramadah (paceklik).
Lalu orang tersebut bermimpi Nabi shallallahu alaihi wa sallam dan
menyuruhnya untuk mendatangi Umar bin al-Khaththab agar keluar melakukan
istisqa’ dengan masyarakat. Ini bukan termasuk kemungkaran. Hal semacam
ini banyak sekali terjadi dengan orang-orang yang kedudukannya di bawah
Nabi shallallahu alaihi wa sallam, dan aku sendiri banyak mengetahui
peristiwa-peristiwa seperti ini.” (Syaikh Ibn Taimiyah, Iqtidha’
al-Shirath al-Mustaqim, juz. 1, hal. 373).
Kisah laki-laki yang
datang ke makam Nabi shallallahu alaihi wa sallam di atas, telah
dijelaskan secara lengkap oleh al-Hafizh Ibn Katsir al-Dimasyqi, murid
terkemuka Syaikh Ibn Taimiyah, dalam kitabnya al-Bidayah wa al-Nihayah.
Beliau berkata: “Al-Hafizh Abu Bakar al-Baihaqi berkata, Abu Nashr bin
Qatadah dan Abu Bakar al-Farisi mengabarkan kepada kami, Abu Umar bin
Mathar mengabarkan kepada kami, Ibrahim bin Ali al-Dzuhli mengabarkan
kepada kami, Yahya bin Yahya mengabarkan kepada kami, Abu Muawiyah
mengabarkan kepada kami, dari al- A’masy, dari Abu Shalih, dari Malik
al-Dar, bendahara pangan Khalifah Umar bin al-Khaththab, bahwa musim
paceklik melanda kaum Muslimin pada masa Khalifah Umar. Maka seorang
sahabat (yaitu Bilal bin al-Harits al-Muzani) mendatangi makam
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam dan mengatakan: “Hai Rasulullah,
mohonkanlah hujan kepada Allah untuk umatmu karena sungguh mereka
benar-benar telah binasa”. Kemudian orang ini bermimpi bertemu dengan
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam dan beliau berkata kepadanya:
“Sampaikan salamku kepada Umar dan beritahukan bahwa hujan akan turun
untuk mereka, dan katakan kepadanya “bersungguh-sungguhlah melayani
umat”. Kemudian sahabat tersebut datang kepada Umar dan memberitahukan
apa yang dilakukannya dan mimpi yang dialaminya. Lalu Umar menangis dan
mengatakan: “Ya Allah, saya akan kerahkan semua upayaku kecuali yang aku
tidak mampu”. Sanad hadits ini shahih. (Al-Hafizh Ibn Katsir,
al-Bidayah wa al-Nihayah, juz 7, hal. 92. Dalam Jami’ al-Masanid juz i,
hal. 233, Ibn Katsir berkata, sanadnya jayyid (baik). Hadits ini juga
diriwayatkan oleh Ibn Abi Khaitsamah, lihat al-Ishabah juz 3, hal. 484,
al-Khalili dalam al-Irsyad, juz 1, hal. 313, Ibn Abdil Barr dalam
al-Isti’ab, juz 2, hal. 464 serta dishahihkan oleh al-Hafizh Ibn Hajar
dalam Fath al-Bari, juz 2, hal. 495).
Apabila hadits di atas
kita cermati dengan seksama, maka akan kita pahami bahwa sahabat Bilal
bin al-Harits al-Muzani radhiyallahu ‘anhu tersebut datangke makam
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam dengan tujuan tabarruk, bukan
tujuan mengucapkan salam. Kemudian ketika laki-laki itu melaporkan
kepada Sayidina Umar radhiyallahu ‘anhu, ternyata Umar radhiyallahu
‘anhu tidak menyalahkannya. Sayidina Umar radhiyallahu ‘anhu juga tidak
berkata kepada laki-laki itu, “Perbuatanmu ini syirik”, atau berkata,
“Mengapa kamu pergi ke makam Rasul shallallahu alaihi wa sallam untuk
tujuan tabarruk, sedangkan beliau telah wafat dan tidak bisa bermanfaat
bagimu”. Hal ini menjadi bukti bahwa bertabarruk dengan para nabi dan
wali dengan berziarah ke makam mereka, itu telah dilakukan oleh kaum
salaf sejak generasi sahabat, tabi’in dan penerusnya.” (Selesai
Kutipan).
Tidak heran, jika golongan seperti kaum militant di
Mali dan seide dengan Hartono berhasil menancapkan kekuasaannya, maka
semua bangunan sarat historis akan dihancurkan dan dibinasakan. Dalam
Majalah Cahaya Nabawiy Edisi 96 Sya`ban 1432 H / Juli 2011, terungkap
fakta yang barangkali sangat langkah diketahui oleh khalayak kaum
Muslimin. Adalah Dr. Sami bin Muhsin Angawi, seorang ahli purbakala yang
mengantongi gelar doctor di bidang arsitektur di London, melakukan
penelitian terhadap rumah Baginda Nabi Muhammad SAW. Bertahun-tahun
lamanya Angawi melakukan penelitiannya sampai kemudian berhasil
merampungkannya lalu ia serahkan kepada pihak berwenang di Arab Saudi.
Tak disangka, hasil penelitiannya justru berakibat fatal terhadap situs
peninggalan Islam itu. Pemerintah Arab Saudi malah menghancurkannya dan
diganti dengan bangunan WC umum. Angawi meradang. Perasaan menyesal
menyusup dalam hatinya. “Kita berharap toilet tersebut segera dirobohkan
dan dibangun kembali gedung yang layak. Seandainya ada tempat yang
lebih utama berkahnya, tentu Allah SWT takkan menjadikan rumah itu
sebagai tempat tinggal Rasul SAW dan tempat turunnya wahyu selama 13
tahun.” (silakan juga lihat di http://www.youtube.com/watch?v=fvELxrsfu04&feature=player_embedded)
Semoga Allah membasmi anasir-anasir jahat yang akan membutakan anak
cucu kita dari sejarah peradaban agamanya sendiri. Wallahu A`lam Bis
Shawaab. (dari Habib Ali Akbar Bin Agil)
Post a Comment for ""Jika minuman terasa pahit, jangan kau salahkan cawan, tapi periksa lidahmu!""