Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Dalam politik, strategi itu dipraktikkan, bukan diomongkan !

Pasca Muktamar NU 1984, Gus Dur memainkan taktik hit and run terhadap melodi kekuasaan Pak Harto. Ia menyisir dari arah seni-budaya terlebih dulu dengan menjadi Ketua DKJ & menjadi juri FFI. Kiai-kiai protes, Gus Dur kukuh merangkul seniman, minimal ada sentuhan religius verbalis dalam corak berkesenian. Dengan menjadi "insider", GD juga menyeret sosok besar lain ke dalam pentas sastra Indonesia: KH. A. Mustofa Bisri.

Di sisi lain, GD mengamputasi kekuatan Pak Harto dengan mendekati tangan kanannya: Benny Moerdani. Saat itu kekuatan Pak Harto mulai lumpuh setelah wafatnya Ali Moertopo, salah satu arsitek Orde Baru. GD tampaknya sulit merangsek ke barisan yang ditinggalkan Ali Moertopo karena jejaringnya terlalu kuat. Maklum, Yoga Sugama, kader Ali Moertopo itu lebih antisipatif dan sangat misterius. Akhirnya Benny, orang terkuat nomor 2 setelah Pak Harto, yang didekati.

Pasca Peristiwa Tanjung Priok, GD malah mengajak jenderal Benny berkunjung ke pesantren. Ini gila! Kelompok Islam yang lain berang, menuduh GD penjilat dan tuduhan sarkastik lain.
Selain suasana masih panas, saat itu juga menjelang pemilu dan peluang Pak Harto maju. GD tahu jika "militer merah putih" seperti Benny masih curiga dengan Islam Politik, karena itulah GD menawarkan perspektif baru dengan mengajak jenderal Katolik ini sowan ke pesantren. Ini strategi persuasif Gus Dur bagi Benny, tapi terlihat sebagai taktik berlindung dalam kabut di mata Pak Harto.

Pak Harto, di sisi lain, curiga dengan Benny dan GD yang runtang-runtung. Benny adalah Panglima ABRI, GD adl Ketua Umum PBNU. Dua kekuatan potensial yang bisa merobohkan Orba. Dua kekuatan ini bakal mengeras jika bekerjasama dengan Petisi 50, kelompok purnawirawan Jenderal (AD) yang berseberangan dengan Pak Harto.

Akhirnya, aksi sabotase dibikin: Benny dipecat dari jabatan Panglima ABRI, seminggu sebelum sidang MPR 1988. Dalam buku otobiografinya, Benny memaparkan alasan pemecatan dirinya adalah karena ia telah lancang mengkritik gurita bisnis anak-anak Pak Harto. Padahal bisa jadi Pak Harto mulai khawatir dengan dominasi dan jejaring Benny di militer. Lagipula sempat berhembus isu kudeta segala macam.

Setelah merasa dukungan militer tak lagi sekuat sebelumnya--sepeninggal Benny-- Pak Harto mulai melirik kekuatan lain yang selama ini ia marjinalkan: Umat Islam!

Untuk pertama kalinya Pak Harto menunaikan ibadah Haji, rajin berkopyah, bikin festival Istiqlal, mendirikan seribu masjid, dan puncaknya meminta anak emasnya, BJ Habibie, mendirikan ICMI. Birokrasi sekuler 1970-1980 yang dikendalikan Sujono Humardani akan diganti dengan birokrasi ijo royo-royo pasca 1990.

Saat itu GD kembali melakukan berbagai manuver canggih setelah berhasil mengacaukan konfigurasi kekuatan Orba.

Apa saja strateginya?
Bagaimana zig zag yang ia lakukan untuk membendung politisasi agama oleh Pak Harto?
Bagaimana taktik yang ia gunakan agar NU bertahan menjadi ormas besar yang berhadapan dengan ABG (ABRI, Birokrasi, dan Golkar), trisula Orde Baru?
Bagaimana GD harus berjibaku melindungi NU dari gebukan Pak Harto, dalam Muktamar 1994, setelah Orba berhasil menjinakkan PDI pada 1993?
Apa hubungan antara Gus Dur, pembredelan Monitor dengan Tempo?
----
Membaca dan menafsir, bukan mengadili Gus Dur, bagi saya persis membaca gaya bertinju Muhammad Ali (nonton aja di youtube).
Aih, lihatlah...lihatlah dulu, pahami gaya dan strateginya, tafsirkan self confidence yang mereka miliki, serta maknai kebesaran jiwa dan kematangan mental keduanya!

Akhirnya, saya jadi ingat kalimat dari Mbah Yai Dimyathi Rois (Kaliwungu Kendal), "Dalam politik, strategi itu dipraktikkan, bukan diomongkan!"


Posted by Penerbit imtiyaz,http://imtiyaz-publisher.blogspot.com/ Penerbit Buku Buku Islam

Post a Comment for "Dalam politik, strategi itu dipraktikkan, bukan diomongkan !"