Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Hubungan ulama-umara

 
Hubungan ulama-umara yang harmonis sejak era Kesultanan Demak, Pajang dan Mataram Islam, putus saat Amangkurat I (berkuasa 1645-1677) membantai ribuan ulama dan keluarganya di alun-alun Plered pada 1650. "Hitler Jawa" ini, atas back up VOC, berusaha memangkas benih perlawanan kaum ulama. Di antara ulama yang tersisa bergabung dalam barisan Trunojoyo, yang juga dibantu Laskar Bugis pimpinan Karaeng Galesong, bangsawan Gowa yang kecewa pasca penandatanganan Perjanjian Bongaya. Di lain pihak, Laskar Bugis yang dipimpin Syekh Yusuf Makassar, menantu Sultan Ageng Tirtayasa, juga membantu perjuangan Kesultanan Banten melawan VOC yang ironisnya dibantu Pangeran Haji, anak Sultan Ageng Tirtayasa. Saat itulah previlege ulama di elit keraton dilucuti.

Hubungan harmonis ulama-umara di Jawa semakin runyam menilik perlawanan Kiai Mutamakkin, leluhur Kiai Sahal Mahfudz, di Kartasura tahun 1730-an. Perlawanan terhadap keraton yang bersekongkol dengan VOC akhirnya tetap terpelihara di kalangan ulama yang mengkader para penerus melalui pesantren di wilayah periferi, maupun jaringan tarekat yang tersebar merata di Jawa dan Madura. Hanya saja, mayoritas ulama saat itu berada di wilayah rural, bukan di level ulama elit maupun birokrat keraton (penghulu, modin, naib, hingga merbot).

Dalam kondisi relasi ulama-umara yang tidak harmonis selama beberapa dekade inilah Pangeran Diponegoro hadir. Melalui status kebangsawannya, loyalitas lokal (local loyality), hubungan kekerabatan (kin solidarity), dan hubungan berdasarkan status tradisional (traditional status relations), ia menambahkan faktor Messianistik sebagai sumbu perlawanan. Dengan kharismanya, ia menyatukan kembali kaum bangsawan keraton dan kaum ulama yang sevisi di bawah komandonya.
Lagipula, sebagai pengikut Tarekat Syattariyah dan Naqsyabandiyah, Pangeran Diponegoro lebih mudah menggerakkan simpul-simpul jejaring tarekat yang tersebar di Jawa dan Madura agar bergabung di dalam gerakannya. Dari sini bisa kita lihat bahwa Diponegoro sebagai Muslim Jawa lebih memilih pola tasawwuf-radikal sebagai sumbu dan Messianisme sebagai mesiu.

Jadi, Diponegoro mendapat ilham kerohaniannya dari sumber-sumber tradisional dan jelas tidak tergugah dengan gerakan pembaruan Wahhabi fanatik yang selama satu dasawarsa (1803-1812) merambah Hijaz dan mempengaruhi rangkaian peristiwa di Sumatera Barat sebelum dan selama Perang Paderi (1821-1838). Selain tidak tertarik dengan gerakan Wahhabi, Diponegoro memilih Turki Usmani sebagai "role model". Ia memakai nama Abdul Hamid sebagai nama resmi karena tafaulan pada Sultan Abdul Hamid, seorang sultan-reformer Turki. Gelar "Basah" (Sentot Ali Basah, Basah Ngabdul Kamil II, dan Gusti Basah) bagi komandan satuan adalah serapan dari kata Pasya. Resimen kawal elit sang Pangeran (Turkio, Arkio, Bulkio), maupun laskar Barjumungah--yang beranggotakan ulama-- juga dipengaruhi hierarki militer Turki. Seragam pasukan, pataka kesatuan tempur, hingga perisai komandan, juga berdasarkan pola Turki. Mengapa Turki? Hal ini dimaklumi karena Haji Badaruddin, panglima pasukan Suronatan, yang juga penasehat Diponegoro adalah ahli tata pemerintahan Turki.

Selain itu, Perang Jawa (Java Orloog) ini tampak sebagai perang semesta. Sebab, selain melibatkan orang Jawa, Diponegoro juga didukung laskar Madura, laskar Bugis pimpinan Daeng Makincing dan Ngabehi Daeng Marewa, serdadu Bali dari Klungkung dan Buleleng (atas pengaruh Raden Ayu Mangkubumi, istri Kiai Mojo yang berdarah Bali), bangsawan peranakan Jawa-Tionghoa, dan orang Arab seperti Syekh Abdul(lah) Ahmad bin Abdullah al-Anshari dan menantunya Syekh Ahmad, dan Syarif Samparwedi (Hasan Munadi) yang menjadi komandan resimen kawal Diponegoro, Barjumungah.
WAllahu A'lam Bisshawab...
----
Saya nampang di samping Makam Pangeran Diponegoro Sultan Abdul Hamid Erucokro Khalifatullah Panatagama ing Tanah Jawi.
----
LikeComment
Posted by Penerbit imtiyaz,http://imtiyaz-publisher.blogspot.com/ Penerbit Buku Buku Islam

Post a Comment for "Hubungan ulama-umara "