Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

KH. Khoiron Syuaib : Kiainya PSK

KH. Khoiron Syuaib: Kiainya PSK
Oleh: Rijal Mumazziq Z (Ketua Lembaga Ta'lif Wan Nasyr PCNU Surabaya)
Akrab dengan dunia prostitusi, bukan berarti terlibat dalam dunia hitam ini, melainkan pada upaya mengentaskan penghuninya dan membimbingnya ke jalan yang benar. Di salah satu lokalisasi di Surabaya, sosok dai ini mengambil jalan moderat, tidak frontal. Di sana, ia melakukan pencerahan, tanpa cacian, tanpa pentungan. Berhasil.

Kiai Khoiron sudah populer sebagai kiainya para pelacur di Surabaya. Nama lengkapnya KH. Khoiron Syuaib. Alumnus Pondok Pesantren Tebuireng, Jombang, dan lulusan IAIN Sunan Ampel Surabaya. Semenjak belia, ia telah "akrab" dengan kawasan merah. Sebab, ayahnya adalah salah satu pemilik warung dan guru ngaji di Dupak Bangunsari, kawasan lokalisasi legendaris yang berdiri sejak zaman penjajahan.
Selepas mondok dan kuliah, ia harus melanjutkan tongkat estafet ayahnya. Saat itu, pertengahan 1980-an, ada sekitar 3500 WTS. Pada 2011, hanya tinggal sepuluh persennya saja. Saat ini malah hanya puluhan WTS yang tinggal di lokalisasi ini, itupun sudah menjelang masa “pensiun”. Bahkan pada tahun 2012 silam, Bangunsari, yang merupakan kawasan lokalisasi tertua di Surabaya, resmi ditutup dan dinyatakan sebagai kampung bebas prostitusi. Upaya ini dimotori oleh Pemprov Jatim, Pemkot Surabaya, MUI dan para dai yang berdakwah di lokalisasi.


“Jadi, semuanya harus dilakukan secara persuasif, lembut, dan tidak boleh ceroboh karena ini berkaitan dengan orang banyak,” kata Kiai Khoiron, ayah tiga orang putra ini. Pemkot Surabaya memberikan pelatihan kerja bagi para PSK, setelah itu mereka diarahkan agar kembali ke kampungnya dan bekerja sesuai keterampilan yang diperolehnya dari diklat keterampilan. Adapun modalnya disediakan sepenuhnya oleh Pemkot.


Di bawah kepemimpinan walikota Tri Rismaharini, upaya penutupan lokalisasi di Surabaya semakin giat dilaksanakan. Adapun Kiai Khoiron mengawal proses penutupan ini agar tidak menjadi gejolak di lingkungannya.


Sehari-hari ia menjadi guru ngaji, konsultan psikologi dan bapak, kakak, sahabat yang sangat akrab dengan gemuruh jiwa para pelacur yang bergolak.


Jika senja mulai tiba, gincu-gincu mengoles bibir para pelacur itu, dengan segala sapaan manja pada hidung belang, sementara suara musik keras mendentang memenuhi komplek pelacuran itu, di sudut komplek pelacuran itu terdengar suara bocah-bocah mengaji dan menyenandungkan shalawat Nabi Keduanya berjalan damai. Tapi itu dulu, kondisi saat ini sudah lain, tak ada dentuman musik yang memekakkan telinga.
"Saya tidak pernah menyuruh mereka berhenti kok,” jelas kiai yang berpenampilan kalem ini. Menurutnya, menurunnya kuota WTS di lokalisasi yang berjaya tahun 1950-1980-an itu atas kesadaran para penghuninya (PSK dan germo), dukungan warga masyarakat, dan upaya pemerintah. “Jadi atas upaya bersama,” katanya merendah.


Dalam proses pengentasan para PSK selama hampir tiga puluh tahun inilah, berbagai hinaan, cacian, dan fitnah sudah kenyang ia rasakan. Ia hanya sebagai "teman curhat" para PSK. Dalam posisi ini, toh ia tidak pernah menghinakan para PSK. "Apa Istri nggak cemburu, Kiai?" pancing saya.


Kiai Khoiron hanya tersenyum. "Namanya cinta, cemburu sih ada. Tapi alhamdulillah, istri dan anak-anak saya sudah siap lahir batin memahami," tandasnya.


Rumahnya terdiri dari dua lantai. Lantai bawah difungsikan sebagai ruang keluarga. Terkesan sempit dengan rak buku dan tumpukan kitab yang berjejalan. Sedangkan lantai atas difungsikan sebagai musalla. Di situlah selepas ashar, Kiai Khoiron menjadi bapak dan pendidik bagi anak-anak penghuni losmen maupun warga sekitar. Di situ pula, sehabis maghrib Kiai Khoiron menjadi sahabat orang-orang yang dicap nista, mengagungkan asma Allah, menebar kasih sayang. Berusaha mengembalikan fitrah kemanusiaan bagi jiwa yang gersang.


"Saya tidak pernah melarang mereka melacur. Saya juga tidak memarahi mereka. Saya hanya menyiapkan ruang jiwa mereka. Sebab mereka melacur paling lama sepuluh tahun. Setelah itu? Mereka pasti berhenti. Mereka perlu kesiapan mental, keimanan dan sikap optimis kepada Tuhan," katanya.
Ngaji di Gedung Bioskop


"Memang, pesantren ini saya konsentrasikan untuk membina anak-anak mereka yang tak berdosa. Mereka harus tumbuh dengan jiwa yang merdeka, tanpa konflik, tanpa masa lalu dan trauma-trauma," katanya menjelaskan rintisan pondok pesantren yang menyatu dengan rumahnya. Pesantren ini merupakan pengembangan dari TPQ Raudlatul Khoir yang ia bina selama puluhan tahun.


Bagi Kiai Khoiron, yang menjadi target pertama kali adalah anak-anak. Jika anak sudah rajin dan pandai mengaji, orang tua manapun akan bangga. Jika timbul rasa bangga, otomatis pula orang tua anak-anak itu—yang mayoritas berprofesi sebagai pelacur—akan merasa malu. Anaknya bisa mengaji, mengapa dia tidak? Strategi semacam ini sangat efektif.


Selain itu, saat era 1990-an, Kiai Khoiron nekat menggarap gedung bioskop jadi lokasi pengajian. Saat itu film yang digandrungi adalah India. Ia nekat menyampaikan sepatah dua patah kata setelah Amitabh Bachchan lenyap dari layar. Hanya dua orang yang mendengarkan uraiannya. Lainnya langsung balik ke rumah. Tak usah menghitung para penentangnya.


"Dasar wong edan, bioskop kok dijadikan tempat pengajian," tukasnya menirukan komentar para penentangnya. Ia kukuh, semakin mantap, tak peduli cemoohan.


Ia merasa santai saja, sebab Ketua RW daerah lokalisasi itu sudah mendukung langkahnya. Di setiap lokalisasi, Ketua RW adalah penguasa lokal. "Ketua RW di lokalisasi itu ibarat Walikota. Dialah yang punya 'kebijakan'. Karena merupakan lahan basah, kalau pemilihan Ketua RW baru, suasananya meriah," terangnya. Maka dari itu, jalinlah hubungan baik dengan penguasa lokal. Kalau kepala suku sudah dipegang, jalan terbuka lebar.


Karena sudah mendapatkan backing, langkah Kiai Khoiron semakin mantap. Dakwah di gedung bioskop terus dilakukan. Karena ceramahnya renyah dan humoris, peminatnya semakin banyak. Intinya, kalau menyampaikan pesan agama di wilayah seperti ini, jangan sekali-kali menyinggung perkara surga dan neraka.
"Mereka itu sensitif sekali dengan pembahasan itu," kata pria kelahiran 17 Agustus 1959 ini.


Kini, setelah dinyatakan sebagai kampung bebas prostitusi, Kiai Khoiron tetap melanjutkan kiprahnya di kawasan lain, seperti Dolly, Jarak, maupun Moroseneng; tiga lokalisasi lain di Surabaya, maupun lokalisasi di kabupaten lain. Upaya ini didukung oleh jaringan dai “spesialis” lokalisasi yang didukung oleh Pemprov Jatim.


Ketika sowan pada tahun 2014 silam, dengan didampingi oleh pria ramah ini, saya sempat berbincang dengan seorang mantan PSK. Ia memakai nama samaran Mira, berasal dari Jember, usianya masih 29 tahun. Ia menikah di usia belia, kemudian dihianati suaminya. Dalam kondisi labil ini dia diajak bekerja di Surabaya oleh tetangganya. Tak disangka ternyata ia dijual (human trafficking) ke mucikari sebagai PSK. Terpaksa ia menjalani kehidupan nista tersebut. Meskipun demikian, ia tetap mengikuti pengajian di rumah Kiai Khoiron maupun di balai RW.


“Pak Kiai Khoiron orangnya baik, santun, tidak pernah melukai perasaan PSK dengan ucapan-ucapan yang melecehkan profesi PSK. Kalau ceramah ada humornya, tapi tetap mengajak PSK ingat masa depan dan agar berhenti dari profesinya. Tetapi beliau itu tidak pernah memaksa kami kok.”
Semejak awal 2014, Mira berhenti dari profesinya. Ceramah Kiai Khoiron yang sejuk dan langsung merembes di hati adalah di antara penyebab ia memutuskan berhenti dari profesinya. Ia kemudian dinikahi oleh mantan pelanggannya. Usai berhenti dari pekerjaannya, Mira membuka usaha jual kue. Lokasinya juga tak jauh dari PP Roudlotul Khoir, pesantren yang sedang dirintis oleh Kiai Khoiron di samping rumahnya.
------

Sabtu, 23 Ramadan 1438 H/ 18 Juni 2017 silam, ketika sowan ke ndalem beliau, Kiai Khoiron bercerita apabila masih ada beberapa rumah karaoke yang buka di salah satu gang. Meskipun sudah dinyatakan sebagai kampung bebas prostitusi, namun pihaknya menengarai apabila masih ada prostitusi terselubung. Hanya saja, menurut Kiai Khoiron, langkah yang diambil bukanlah tindakan merusak tempat tersebut, melainkan melaporkannya kepada pemkot. Dengan cara ini, pemkot bisa menindak langsung pihak yang bersangkutan melalui bantuan satpol PP maupun aparat kepolisian. Cara ini lebih efektif dan meminimalisir konflik horizontal.


Bagi saya, pendekatan dakwah yang dilakukan Kiai Khoiron lebih bermutu, elegan dan punya hasil yang jelas. Dakwah secara santun, tanpa caci maki, dan memanusiakan manusia. Beliau juga tidak bertindak brutal. Melainkan tetap menggandeng pemerintah sebagai pihak yang bertanggungjawab untuk menekan angka human traficking sekaligus membubarkan lokalisasi dengan diiringi pemberdayaan kepada bekas penghuninya.


Indonesia selalu butuh sosok-sosok inspiratif seperti beliau.
Wallahu A'lam Bisshawab
(saya bersama KH. Khoiron Syu'aib, 23 Ramadan 1438 H)
Cc: Pak Karim Raslan Alhimny Fahma Emza Vicky Ramadhan Az Zakky Ahmad Karomi

Post a Comment for "KH. Khoiron Syuaib : Kiainya PSK"