Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

teroris harus tetap disebut teroris. Sekali teroris disebut dengan Mujahid, saya khawatir maling-pun kelak disebut sebagai "pemindah barang"

http://www.penerbitimtiyaz.com/

Sekira 2007-2010 saya pernah bergabung di forum komunitas dunia maya Arrahmah. Semacam kaskus, tapi isinya soal "jihad". Grup ini terafiliasi dengan jaringan Arrahmah.do(t).co(m) yang dikelola Muhammad Jibril, anaknya Abu Jibril alias Muhammad Iqbal Abdurrahman. 

Muhammad Jibril juga mengelola Jihad Magazine, salah satu majalah dengan kemasan luks, eksklusif dan mahal. Waktu saya beli harganya Rp 50.000. Ini majalah bisa nangkring di beberapa toko buku besar berdampingan dengan NatGeo dengan banderol yang sama.

Keluarga Abu Jibril ini lekat dengan kasus terorisme. Anaknya yang lain, Ridwan Abdul Hayyi, berangkat ke Suriah pada 2014, bergabung dengan al-Qaidah dan tewas dalam pertempuran melawan pasukan pemerintah. 

Ketika bergabung di forum mirip Kaskus itu, saya bergidik ngeri. Di forum ini, kita bisa mengunduh berbagai video brutal aksi penyembelihan tawanan di Irak, eksekusi sandera di Filipina, operasi klandestin di Somalia, pengeboman bunuh diri di Afganistan, penembakan massal di maupun eksekusi musuh di Chechnya, dan lain sebagainya. Aksi bom bunuh diri di berbagai wilayah ini bahkan dilabeli dengan istilah istisyhadiyyah.

Sudah cukup? Belum. Di forum ini kita juga bebas mengunduh panduan pembuatan bom dengan racikan bahan sederhana namun daya ekplosifnya mengerikan. Ada bom pipa, bom ransel, bom rice-cooker, dan sebagainya. 

Terus bagaimana dengan tugas Densus-88 waktu itu, juga BNPT? Saya nggak tahu. Entah membiarkan, atau mendiamkan, Wallahu A'lam.

Yang pasti, saya hanya outsider, bukan simpatisan mereka, apalagi terekrut. Sebab, bagi saya Indonesia bukan medan jihad, dan doktrin para kiai NU sudah mendarah daging: Islam sebagai ruh, Indonesia sebagai tanah air.

Yang pasti, jaringan teroris berkecambah dengan cepat ketika era forum digital digantikan dengn aplikasi medsos. Tahun 2010-2014, akun-akun yang mengajak "jihad", menyebarkan video kekerasan, dan propaganda terorisme atas nama Islam tumbuh subur. Bahkan, di akun FB lama yang sudah mati, saya sengaja berteman dengan simpatisan ISIS dan Al-Qaidah, dua organisasi teror yang nyaris identik tapi saling mengkafirkan dan baku bunuh di lapangan tempur.

Sejak 2014 pula, Kominfo bergerak sigap. Situs-situs yang mengajarkan terorisme ditutup, dan beberapa sahabat saya yang biasanya hanya kopipaste dalil saat debat, kehilangan sumber kopipaste-nya. Beberapa limbung, lalu berganti media untuk menyebar propaganda: WhatsApp. Ketika media ini diawasi dan diperketat, Telegram menjadi sarana komunikasi karena lebih privat. Propaganda lebih leluasa dijalankan, khususnya melalui pidato-pidato tokoh terorisme dan penyebaran link jejaring organisasi teroris. 

Di film dokumenter pendek berjudul "Jihad Selfie" karya Noor Huda Ismail, terpetakan pola rekrutmen melalui medsos juga. Wildan Mukhallad, santri cerdas namun pendiam yang menuntut ilmu di Mesir, tertarik ajakan sahabat yang dia kenal di fesbuk agar berangkat berperang di Suriah. Dia tewas di sana setelah beberapa kali mengunggah pose menenteng AK-47 di samping tank dengan berseragam doreng ala milisi. Dia bergabung dengan ISIS. Mahasiswa lain nyaris terekrut, tapi gagal karena satu hal: selalu ingat dan rindu pada ayah ibunya di Aceh.

Yang pasti media sosial bisa menjadi tempat menyenangkan juga bisa menjelma inkubator terorisme atas nama agama.

Oke dari sini, silahkan dicek, adakah di antara sahabat di list pertemanan fesbuk kita yang bergembira melalui status fesbuknya ketika teroris menusuk dan membunuh aparat atau warga sipil? Jika iya, biasanya dia juga bangga ketika melihat ada teroris terbunuh dan menyematkan istilah sakral seperti "Mujahidin", "Syahid", "Subhanallah, bibirnya tersenyum karena diperlihatkan surga", dlsb, kepadanya. 

Bagi saya, harus tegas, teroris harus tetap disebut teroris. Sekali teroris disebut dengan Mujahid, saya khawatir maling-pun kelak disebut sebagai "pemindah barang".


Post a Comment for "teroris harus tetap disebut teroris. Sekali teroris disebut dengan Mujahid, saya khawatir maling-pun kelak disebut sebagai "pemindah barang""